Jumat, 24 Mei 2013

Sastra Bandingan, Harry Potter dan Laskar Pelangi, Romeo and Juliet VS Roro Mendut


Sastra Bandingan
Jamiatul Armisa

Beberapa Perbandingan Sastra

1.    Bacalah novel Laskar Pelangi dan Novel Harry Potter kemudian bandingkan apa persamaan dan perbedaannya
Jawaban:
Novel Laskar Pelangi dan Harry Potter memiliki perbedaan yang sangat terlihat jelas. Laskar Pelangi berasal dari Indonesia dan ceritanya juga diangkat mengenai kehidupan di indonesia. Berbeda dengan Harry Potter yang mengangkat kehidupan orang barat. Harry Potter dan askar Pelangi mengangkat semangat anak-anak hingga dewasa untuk menggapai cita-citanya dengan latar belakang yang tentunya berbeda. Laskar pelangi yang mengangkat seorang anak kampung yang ingin bersekolah dan bisa mencapai keberhasilannya untuk bisa ke Paris. Berbeda dengan Harry Potter yang telah lama menjadi yatim piatu dan ingin menjadi ahli sishir di sekolah sihir. kedua novel mengangkat kehidupan sekolah dan perjuangan untuk mengejar cita-cita. Namun kehidupan dalam cerita Harry Potter penuh imajinasi dan jauh dari kehidupan nyata sedang laskar pelangi diambil dari kehidupan nyata.

2.    Romeo and Juliet karya Shakespeare dan bandingkan dengan cerita Roro Mendut karya Y.B. Mangunwijaya
Romeo dan Juliet adalah cerita tentang sepasang kekasih yang akhirnya tida bersatu dan berujung pada kematian keduanya. Begitu juga dengan cerita Roro Mendut. Kekuasaan telah membunuh Mendut dan Pronocitro di ujung keris sakti Panglima Perang Mataram, Tumenggung Wiroguno. Sekali lagi kita melihat, absurditas cinta mati sia-sia. Walau kedua cerita berakhir teragis, namun memiliki proses akhir cerita yang berbeda. Romeo dan Juliet berakhir dengan saling bunuh diri hal ini disebabkan karena hubungan mereka ditentang oleh keluarga masing-masing yang saling bermusuhan. Sedang Roro Mendut berakhir dengan kematian keduanya karena dibunuh oleh Tumenggung Wirogonu. Begitu jelas perbedaan kedua cerita ini. Hanya tema cerita yang sama yaitu tentang cinta yang tak bisa bersatu. Latar kehidupan dalam cerita Roro Mendut lebih keras dan penuh perjuangan. Sebagai gadis pingitan dan rebutan para raja ia ingin bebas dan ingin hidup layak seperti para gadis remaja pada umumnya. Jika Romeo dan Juliet hanya berkutat pada cerita cinta dan kehidupan keluarga yang bertentangan, maka cerita Roro Mendut lebih luas dan melibatkan banyak pihak.

3.          Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata dan bandingkan dengan Hikayat Sri Rama
Cerita dalam Novel Anak Bajang Menggiring Angin dan Sri Rama memiliki kesamaan cerita yang mengangkat kehidupan ramayana. Kedua cerita mengangkat cerita tentang Rama dan Sinta. Namun dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin menceritakan secara rinci tentang lahirnya para raksasa (Rahwana), lahirnya Anuman dan Lahirnya Rama. Sedang dalam Hikayat Sri Rama hanya menceritakan kehidupan Rama dan Sinta. Memang semua tokoh seperti Rahwana, Anuman ada dalam cerita namun awal mula kehidupan mereka tidak begitu jelas di ceritakan. Penggunaan nama Sinta atau Sita berbeda dalam kedua cerita. Dalam Novel Anak Bajang Menggiring Angin bernama Dewi Sinta sedang dalam Hikayat Sri Rama bernama Sita. Dalam Hikayat Sri Rama cerita berakhir bahagia. Sedang Dalam Novel Anak Bajang Menggiring Angin berakhir sedih, karena Rama yang meragukan kesucian Sinta yang diculik Rahwana. Untuk membuktikan kesucian Sinta akhirnya Sinta bersikeras meceburkan diri ke kawah api. 

Gangguan Berbahasa Anak Autis


Gangguan Berbahasa pada Anak Autis
Oleh Jamiatul Armisa



1. Pengertian Komunikasi
Istilah komunikasi sering diartikan sebagai kemampuan bicara, padahal komunikasi lebih luas dibandingkan dengan bahasa dan bicara. Oleh karena itu agar komunikasi tidak diartikan secara sempit, perlu kiranya dijelaskan tentang pengertian komunikasi.
Komunikasi secara terminoligis berarti penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang pada orang lain sebagai konsekuensi dari hubungan sosial (Sunardi dan Sunaryo, 2006:174). Pengertian komunikasi disini lebih menekankan komunikasi sebagai alat hubungan sosial sebagai konsekuensi dari manusia sebagai makhluk sosial. Sehingga untuk menjalankan perannya sebagai makhluk sosial manusia harus berkomunikasi.
Menurut Quill (1995) dalam Gardner, et al. (1999:2) menyatakan bahwa komunikasi merupakan proses yang dinamis di dalamya terjadi proses enkoding dari penyampai pesan dan dekoding dari penerima pesan, terjadi pertukaran iformasi, penyampaian perasaan (melibatkan emosi), ada tujuan-tujuan tertentu serta ada penyampaian ide. Dari pengertian komunikasi tersebut dapat dikatakan bahwa komunikasi itu selalu melibatkan dua individu atau lebih dan yang terpenting adalah keinginan, maksud, pesan atau tujuan pengirim pesan dapat diterima dan dipahami oleh penerima pesan. Komunikasi menjadi aspek penting untuk mengekspresikan perasaan, gagasan, keinginan, dan kebutuhan-kebutuhan.
Untuk melakukan komunikasi ternyata dibutuhkan alat. Alat utama dalam komunikasi adalah bahasa (Jordan dan Powell, 2002:51). Berarti komunikasi itu melibatkan bahasa verbal maupun non verbal, mencakup lisan, tulisan, bahasa isyarat, bahasa tubuh, dan ekspresi wajah.
Dari pengertian komunikasi di atas ada tiga hal penting yang berkaitan dengan komunikasi, pertama, komunikasi harus melibatkan dua orang atau lebih, kedua, komunikasi merupakan pertukaran informasi yang bersifat dua arah, dan ketiga, mengandung pemahaman. Sebuah pengumunan yang dipasang di papan pengumuman bukan merupakan komunikasi. Tapi kalau pengumuman itu talh dibaca, dimengerti, dan ditanggapi, maka pengumuman itu bisa disebut komunikasi. Komunikasi dikatakan efektif hanya jika suatu gagasan dapat berpindah dari pemikian seseorang ke pemikiran orang lain (Moore, 1987:79).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah suatu proses dinamis yang menggunakan bahasa sebagai alat utamanya dalam rangka individu melakukan hubungan sosial dengan individu lainnya yang di dalamnya melibatkan ekspresi perasaan, penyampaian ide, keinginan, kebutuhan-kebutuhan, dan tujuan.
2. Jenis Komunikasi
Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya bahwa alat/media utama komunikasi adalah bahasa, sementara bahasa itu sendiri secara umum terbagi dua, yaitu bahasa verbal (lisan) dan non verbal (isyarat, gerak tubuh, ekspresi wajah, tulisan). Oleh karena itu komunikasi berlangsung tidak hanya dengan menggunakan kata-kata tetapi juga dengan bantuan tindakan, gerak isyarat, ekspresi wajah, gambar yang bermakna, dan tulisan.
Berdasrkan hal tersebut maka jenis komunikasi itu ada dua, yaitu:
-        Komunikasi verbal (lisan)          
-        Komunikasi non verbal (isyarat, gerak tubuh, ekspresi wajah, tulisan)
3. Perkembangan Komunikasi Pada Anak
Perkembangan komunikasi anak pada umumnya berawal dari tangisan bayi yang memberi tahu ibunya bahwa ia merasa lapar atau tidak nyaman. Usia sekitar 2 bulan bayi sudah mengeluarkan suara-suara (cooing) atau tertawa, bila ia merasa senang. Kemudian berkembang menjadi babbling atau pengulangan rangkaian konsonan-vokal misalnya, ma-ma-ma, ba-ba-ba. Usia sekitar 10 bulan, bayi sudah mulai mengenal kata-kata tapi belum mampu mengucapkannya dan kemudian mengucapakan kata pertamanya pada saat ia berusia sekitar 1 tahun.
Perkembangan bicara anak pada umumnya akan terus berkembang dengan pesat sehingga dalam rentang usia 16-24 bulan perbendaharaan kata yang dimiliki oleh anak meningkat dari 50 kata menjadi kurang lebih 400 kata. Saat berusia 2 tahun, anak seharusnya sudah mampu menggunakan kata kerja, kata sifat dan melakukan pengungkapan diri dengan kalimat yang terdiri dari 2 kata.
Menginjak usia 3 tahun, cara anak berbicara sudah menyamai cara orang dewasa berbicara secara informal. Anak sudah menguasai hampir 1000 kata, dapat menyusun kalimat dengan benar dan dapat berkomunikasi dengan baik. Disamping menggunakan bahasa, anak pada umumnya juga mampu berkomunikasi dengan gestur dan simbol-simbol lainnya (Papalia, 1995 dalam Riyanti, 2002:12).
Menurut Sussman (1999) dalam Sjah dan Fadhilah (2003:214) komunikasi berkembang melalui empat tahapan:
a. The own agenda stage
Pada tahap ini anak lebih suka bemain sendiri dan tampaknya tidak tertarik pada orang-orang di sekitarnya. Anak belum tahu bahwa dengan komunikasi ia dapat mempengaruhi orang lain. Untuk mengetahui keinginannya, kita harus memperhatikan gerak tubuh dan ekspresi wajah anak. Seringkali anak mengambil sendiri benda-benda yang diinginkannya.
b. The requester stage
Anak mulai menyadari bahwa tingkah lakunya dapat mempengaruhi orang di sekitarnya.. bila menginginkan sesuatu, anak biaanya menarik tangan kita dan mengarahkannya ke benda yang diinginkan. Sebagian anak telah mampu mengulangi kata-kata atau suara tetapi bukan untuk berkomunikasi melainkan untuk menenangkan dirinya. Anak juga mulai bisa mengikuti perintah sederhana tapi responnya belum konsisten.
c. The early communication stage
Anak telah menyadari bahwa ia bisa menggunakan satu bentuk komunikasi tertentu secara knsisten pada situasi khusus. Namun demikian, inisiatif berkomunikasi masih terbatas pada pemenuhan kebutuhannya. Anak mulai memahami isyarat visual/gambar komunikasi dan memahami kalimat-kalimat sederhana yang kita ucapkan. Bila terlihat perkembangan bahwa anak mulai memanggil nama, menunjuk sesuatu yang diinginkan, atau melakukan kontak mata untuk menarik perhatian, maka berarti anak sudah siap untukmelakukan komunikasi dua arah.
d. The partner stage
Tahap ini merupakan fase yang paling efektif. Bila kemampuan bicara anak baik, ia akan mampu melakukan percakapan sederhana. Anak juga dapat diminta untuk menceritakan pengalamannya, keinginannya yang belum terpenuhi dan mengekspresikan perasaanya. Namun demikian, biasanya anak masih terpaku pada kalimat-kalimat yang telah dihapalkan dan sulit menemukan topik pembicaraan yang tepat pada situasi baru. Bagi anak-anak yang masih mengalami kesulitan untuk berbiara, komunikasi dapat dilakukan dengan menggunakan rangkaian gambar atau menyusun kartu-kartu bertulisan.
Agar lebih jelas mengenai pekembangan komunikasi tersebut, di bawah ini akan diberikan contoh-contoh perkembangan komunikasi pada anak menurut Rowland dan Stremmel (1987) dalam Gardner et al (1999:3) sebagai berikut:
a. Perilaku Pra-tujuan
  • Cooing (mengeluarkan suara-suara)
  • Tertawa sendiri
  • Tiba-tiba menangis tanpa sebab
  • Ekspresi wajah tanpa tujuan
  • Menggerakkan kepala
  • Gerakan badan yang tidakberaturan
b. Perilaku bertujuan
  • Memperhatikan suatu objek
  • Tersenyum
  • Bergerak ke suatu arah
  • Meraih sesuatu atau mendorong sesuatu
  • Rewel
c. Komunikasi pra simbolik non konvensional
  • Tertawa
  • Membuat suara tak beraturan
  • Kontak amata atau menggerakkan mata untuk mengikuti gerakan tangan orang lain dan mencoba meraihnya
d. Komunikasi pra simbolik konvensional
  • Mengeluarkan pola suara yang beraturan (dada, mama, baba),
  • menunjuk/mengarahkan tangan
  • mengayunkan tangan dan kaki
  • mencium
  • memeluk
  • memilih salah satu dari dua objek
e. Komunikasi simbol kongkrit
  • Mengeluakan suara untuk menunjuk objek tertentu
  • Menggunakan gestur sederhana/gerak anggota tubuh untuk mengungkapkan sesuatu, misalnya menepuk-nepuk kursi sebagaikeinginan untuk duduk di kursi.
  • Menggunakan objek kongkrit
  • Menggunakan gambar foto
f. Komunikasi simbol abstrak
§        Menggunakan kata-kata tunggal/dasar
§        Menggunakan isyarat
§        Menggunakan gambar abstrak (gambar outline)
g. Komunikasi simbol formal (berbahasa)
§        Mengkombinasikan dua kata atau lebih
§        Mengkombinasikan gambar atau simbol
§        Mengkombinasikan kata-kata yang tertulis
Salah satu kesulitan yang dimiliki oleh anak autis adalah dalam hal komunikasi (Delphie, 2006:1). Oleh karena itu perkembangan komunikasi pada anak autis sangat berbeda, terutama pada anak-anak yang mengalami hambatan yang berat dalam penguasaan bahasa dan bicara.
Kesulitan dalam komunikasi ini dikarenakan anak autis mengalami gangguan dalam berbahasa (verbal dan non verbal), padahal bahasa merupakan media utama dalam komunikasi. Mereka sering kesulitan untuk mengkomunikasikan keinginannya baik secara verbal (lisan/bicara) maupun non verbal (isyarat/gerak tubuh dan tulisan).
Sebagian besar dari mereka dapat berbicara, menggunakan kalimat pendek dengan kosa kata sederhana namun kosa katanya terbatas dan bicaranya sulit dipahami. Karena kosa katanya terbatas maka banyak perkataan yang mereka ucapkan tidak dipahaminya. Mereka yang dapat berbicara senang meniru ucapan dan membeo (echolalia). Beberapa diantara mereka sering kali menunjukkan kebingungan akan kata ganti. Contoh, mereka tidak menggunakan kata saya dan kamu secara benar, atau tidak mengerti ketika lawan bicaranya beralih dari kamu menjadi saya atau sebaliknya (Riyanti, 2002:16).
Pada saat anak pada umumnya sudah mengetahui nama, mampu merespon terhadap ya dan tidak, mengerti konsep abstrak laki-laki – perempuan, dan mengikuti perintah-perintah sederhana. Sementara itu pada anak autis mungkin hanya echolalia terhadap apa yang dikatakan atau tidak bicara sama sekali.
Anak pada umumnya biasanya mulai mengoceh sekitar umur enam bulan. Ia mulai bicara dalam bentuk kata pada umur satu tahun dan merangkai dua atau tiga kata dalam satu kalimat sebelum delapan belas bulan. Sedangkan pada anak autis sebaliknya, ia tidak memiliki pola perkembangan bahasa. Kemampuan komunikasi mereka bervairasi, diantara mereka ada yang tidak pernah bicara, seperti anak pada umumnya sampai delapan belas bulan atau dua puluh bulan, kadang-kadang kemampuan bicara mereka hilang begitu saja.
Anak autis yang sulit berbicara, seringkali mengungkapkan diri atau keinginannya melalui perilaku. Memang untuk beberapa kasus anak autis yang ada yang sudah mampu menyampaikan keinginannya dengan cara menarik tangan orang yang didekatnya atau menunjuk ke suatu arah yang diinginkan, atau mungkin menjerit. Jika orangtua atau orang disekitarnya tidak memahami apa yang diinginkannya anak akan marah-marah, mengamuk dan mungkin tantrumnya akan muncul.
Siegel (1996:44) secara umum menggambarkan perkembangan komuniksi anak autis terbagi dalam dua bagian, yaitu:
1. Perkembangan komunikasi verbal, meliputi keterlambatan berbahasa bahkan ada diantara mereka yang kemampuan berbahasanya hilang, echolalia dan menggunakan bahasa yang aneh/tidak dimengerti, menggunakan bahasa sederhana (misalnya minta makan:”Makan, ya!”).
2. Perkembangan komunikasi non verbal, meliputi menggunakan gestur, gerak tubuh, mengungkapkan keinginan dengan ekspresi emosi (menjerit, marah-marah, menangis).
Dengan perkembangan komunikasi seperti telah disampaikan di atas jelaslah anak autis akan menghadapi berbagai kesulitan untuk mengungkapkan keinginannya dan dengan kemampuan komunikasi seperti demikian perlu adanya suatu cara yang dapat membantu mereka untuk berkomunikasi dengan lingkungannya.

 Lee, Hobson, dan Chiat (1994) meneliti penggunaan kata ganti pada para remaja  yang mengalami gangguan autis  dan melaporkan adanya kecenderungan  mereka menyebut si peneliti dan diri mereka sendiri menggunakan nama dan bukan dengan kata ganti diri. Anak-anak ini mengalami kesulitan menggunakan kata ganti diri (saya, anda, kami, mereka, dia) sepanjang hidup mereka, meskipun ada perbaikan secara bertahap .
Orang yang mengalami gangguan autis  cenderung menggunakan informasi yang terlalu detil tapi tidak relevan dalam pecakapan (contoh, menyebutkan tanggal dan usia ketika membicarakan peristiwa atau orang tertentu),  berbicara berlebihan pada satu topik percakapan, berpindah ke topik yang tidak semestinya, dan mengabaikan umpan pembicaraan yang dikemukakan oleh lawan bicara (Taber-Flushbrg, 1999, 2001; Easles, 1993). Cappas, Kehres, dan Sigman (1998) menemukan bahwa anak-anak dengan gangguan autis menunjukkan kesulitan berkomunikasi dua arah karena tidak adanya daya tanggap terhadap pertanyaan dan komentar. Anak-anak dengan gangguan autis juga tidak banyak memberikan informasi spontan dibanding dengan anak-anak dengan kelambatan perkembangan lain dalam hal kemampuan bahasa. Easles (1993) berpendapat bahwa gangguan-gangguan fragmatis ini disebabkan oleh gangguan dalam memahami niat atau maksud orang lain selama percakapan.
Kesulitan-kesulitan dengan aspek fragmatik atau sosial dalam bahasa juga dijumpai diantara orang-orang dewasa yang mengalami gangguan autis (Lord & Paul, 1997). Selain kerusakan fragmatis, individu dengan gangguan autis biasanya mengalami kesulitan dalam aspek-aspek semantik bahasa.
Anak autism dengan ganguan komunikasi  haruis dilakukan observasi dan penilaian secara menyeluruh termasuk penilaian oral motor dan sistem motor bicara. Dr. Michael Crary menganjurkan beberapa hal tentang observasi dan evaluasi termasuk :
·                 FUNGSI MOTOR BUKAN BICARA :                                               
Fungsi motor bukan bicara meliputi posisi tubuh dan cara berjalan, koordinasi gerakan motorik kasar dan halus, koordinasi gerakan mulut, posisi mulut,  air liur menetes terus, menelan, mengunyah, struktur mulut, simetris,
·                 FUNGSI MOTOR BICARA :                                                            
Kemampuan dan usaha dalam proses bicara seperti deviasi dalam prosodi (kecepatan, volume, intonasi dll), kelancaran bicara, hiper/hiponasaliti,  diodochokinesis bicara (seperti pengulangan . “puh-puh-puh”, “puh-tuh-kuh” ), kemauan dan usaha secara spontan.  
·                 KEMAMPUAN ARTIKULASI DAN FONOLOGI:
Gangguan komunikasi pada anak penyandang autisme, bisa dibedakan menjadi dua bagian: gangguan komunikasi verbal dan non verbal. Gangguan komunikasi verbal dimana anak bisa bicara tapi bicara tidak digunakan untuk komunikasi. Contohnya, membeo, ekolali, dan berbicara dalam situasi yang salah. Sebaliknya, gangguan komunikasi non verbal nampak dari hal-hal sederhana seperti kontak mata  minimal, tidak memahami bahasa tubuh, sampai dengan terlambat bicara atau sama sekali tidak bisa berbicara.
Dilihat dari penyebabnya: gangguan komunikasi bisa disebabkan oleh gangguan pada masalah memproduksi kata-kata karena motorik mulut, gangguan pada pendengaran sehingga tidak bisa mendengar kata apalagi mengingat kata-kata dengan jelas, tidak memahami arti kata-kata dan mengasosiasikan dengan situasi, dan lingkungan tidak mendukung anak untuk termotivasi berbicara atau mengembangkan kemampuan bicaranya.
Anak-anak autis menguasai bahasa verbal melalui tahapan-tahapan perkembangan tata bahasa yang sama dengan anak-anak pada umumnya  meskipun agak lambat (Tager, Flusbrg, 1999).  Anak-anak dengan autisme cenderung mengandalkan pada sintaksis dan bukan pada isi semantik dalam memahami bahasa (contoh, banyak mengandalkan pada kata  ketika menentukan makna suatu kalimat).
Hambatan-Hambatan Berkomunikasi pada Anak Autis
Anak autis mengalami gangguan perkembangan yang kompleks sehingga mereka juga disebut mengalami gangguan pervasif. Peeters (2004:4) mengartikan pervasif yaitu menderita kerusakan jauh di dalam meliputi keseluruhan dirinya. Istilah pervasif juga dilandasi oleh gangguan perkembangan yang diperlihatkan oleh anak autis.
Gangguan-gangguan itu hampir meliputi seluruh aspek kehidupannya, antara lain komunikasi, interaksi sosial, gangguan dalam sensoris, pola bermain, perilaku khas, dan emosi (Riyanti, 2002:10, Peeters, 2004:5; Hidayat, 2006:2; Sunardi dan Sunaryo, 2006:193). Gangguan-gangguan tersebut jelas akan mengahambat perkembangan anak autis.
Di bawah ini dijelaskan hambatan atau gangguan-gangguan berkomunikasi yang sering diperlihatkan oleh anak autis, diantaranya adalah:
§     Perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak ada.
§     Anak tampak seperti tuli, sulit bicara, atau pernah bicara, tetapi kemudian sirna.
§     Kadang kata-kata yang digunakan tidak sesuai artinya.
§     Mengoceh tanpa arti berulang-ulang dengan bahasa yang tidak dapat dimengerti oleh orang lain.
§     Bicara tidak dipakai untuk alat berkomunikasi
§     Senang meniru atau membeo (echolalia)
§     Bila senang meniru, dapat hapal betul kata-kata atau nyanyian tapi tidak mengerti artinya.
§     Sebagian dari anak autis tidak bicara (non verbal) atau sedikit berbicara sampai usia dewasa.
§     Senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang ia inginkan.
Peningkatan Keterampilan Komunikasi Bagi Anak Autis dengan
Media PECS
1. Pengertian PECS
PECS (Picture Exchange Communication System) adalah suatu pendekatan untuk melatih komunikasi dengan menggunakan simbol-simbol verbal (Bondy dan Frost, 1994:2). PECS dirancang oleh Andrew Bondy dan Lori Frost pada tahun 1985 dan mulai dipublikasikan pada tahun 1994 di Amerika Serikat. Awalnya PECS ini digunakan untuk siswa-siswa pra sekolah yang mengalami autisme dan kelainan lainnya yang berkaitan dengan gangguan komunikasi. Siswa yang menggunakan PECS ini adalah mereka yang perkembangan bahasanya tidak menggembirakan dan mereka tidak memiliki kemauan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dalam perkembangan selanjutnya, penggunaan PECS telah meluas dapat digunakan untuk berbagai usia dan lebih diperdalam lagi.
Dengan menggunakan PECS bukan berarti menyerah bahwa anak tidak akan bicara, tetapi dengan adanya bantuan gambar-gambar atau simbol-simbol maka pemahaman terhadap bahasa yang disampaikan secara verbal dapat dipahami secara jelas. Memang, pada tahap awalnya anak diperkenalkan dengan simbol-simbol non verbal. Namun pada fase akhir dalam penggunaan PECS ini, anak dimotivasi untuk berbicara. Meskipun PECS bukanlah program untuk mengajarkan anak autis cara berbicara, pada akhirnya mendorong mereka untuk berbicara.
Ada kekhawatiran orangtua terhadap anaknya yang menggunakan PECS ini. Mereka khawatir anaknya tidak bisa bicara dan ketergantungan terhadap gambar. Untuk itu Schwartz (1998) dalam www. autism.healingthresholds.com) melakukan penelitian pada 18 orang anak-anak pra sekolah yang mengalami gangguan berbahasa, beberapa diantara mereka didiagnosa sebagai anak autis. Mereka mendapat penanganan dengan menggunakan PECS. Anak-anak tersebut menggunakan PECS untuk berkomunikasi selama di sekolah, tidak hanya pada sesi latihan saja. Ternyata setelah setahun, lebih dari setengahnya telah berhenti menggunakan PECS dan mulai menggunakan kemampuan bicara alaminya.
Tidak ditemukan adanya dampak negatif dari penggunaan PECS ini (Bondy, 2001). Ada pun kekhawatiran akan adanya ketergantungan pada PECS dan keterampilan bicara anak autis menjadi tidak berkembang, pandangan/kekhawatiran itu tidak didasari oleh hasil penelitian. Kenyataanya banyak bukti bahwa anak-anak autis yang menggunakan PECS perkembangan keterampilan bicaranya lebih cepat dibandingkan dengan yang tidak menggunakan PECS (Bondy, 2001).
Penelitian terakhir oleh Yoder dan Stone (2006) membandingkan antara anak-anak yang menggunakan PECS dengan sistem yang lain. Hasilnya menunjukkan bahwa anak-anak autis yang dilatih dengan menggunakan PECS lebih verbal dibandingkan dengan yang lain. PECS ini akan lebih efektif mendorong anak autis untuk lebih verbal jika dilatihkan pada anak berusia di bawah enam tahun.
Berdasarkan pengalaman Wallin (2007:1) ada beberapa keunggulan yang dimiliki oleh PECS ini, diantaranya:
§ Setiap pertukaran menunjukkan tujuan yang jelas dan mudah dipahami. Pada saat tangan anak menunjuk gambar atau kalimat, maka dapat dengan cepat dan mudah permintaan atau pendapatnya itu dipahami. Melalui PECS, anak telah diberikan jalan yang lancar dan mudah untuk menemukan kebutuhannya.
§ Sejak dari awal, tujuan komunikasi ditentukan oleh anak. Anak-anak tidak diarahkan untuk merespon kata-kata tertentu atau pengajaran yang ditentukan oleh orang dewasa, akan tetapi anak-anak didorong untuk secara mandiri memperoleh “jembatan” komunikasinya dan terjadi secara alamiah. Guru atau pembimbing mencari apa yang anak inginkan untuk dijadikan penguatan dan jembatan komunikasi dengan anak.
§ Komunikasi menjadi sesuatu penuh makna dan tinggi motivasi bagi anak autis.
§ Material (bahan-bahan) yang digunakan cukup murah, mudah disiapkan, dan bisa dipakai kapan saja dan dimana saja. Simbol PECS dapat dibuat dengan digambar sendiri atau dengan foto.
§ PECS tidak membatasi anak untuk berkomunikasi dengan siapapun. Setiap orang dapat dengan mudah memahami simbol PECS sehingga anak autis dapat berkomunikasi dengan orang lain tidak hanya dengan keluarganya sendiri.
Pembelajaran komunikasi melalui PECS ini harus dimulai dari objek yang benar-benar anak inginkan. Oleh karenanya menurut Bondy dan Frost (1994) dalam Gardner, et al. (1999:11) dalam penerapan PECS ini perlu adanya penggunaan modifikasi perilaku. Melalui modifikasi perilaku tersebut akan diketahui apa yang anak inginkan. Objek yang diinginkan tersebut akan menjadi penguatan bagi anak untuk melakukan komunikasi melalui pertukaran gambar.
2. Menyiapkan Material (Bahan-bahan) yang Digunakan
Material yang digunakan dalam PECS cukup murah. Simbol atau gambar dapat diperoleh dengan cara menggambar sendiri, dari majalah atau koran, foto, atau gambar dari komputer (clip art atau dari internet). Bisa juga menggunakan material resmi PECS yang diterbitkan oleh Pyramid Educational Consultants. Inc. Gambar-gambar atau simbol itu dibentuk kartu kemudian dilaminating agar awet dan di belakang gambar itu dipasang pengait (velcro) atau double tape agar bisa dipasang atau digantung pada berbagai media. Untuk menyimpan kartu gambar diperlukan file.
Dibawah ini sebagian contoh gambar yang dapat di gunakan:
contohgambar1
contohgambar2
Sumber: www.widgit.com
Gambar-gambar dan simbol dikelompokkan dan disusun dari yang paling mudah sampai yang paling sulit. Gambar dan simbol dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa kategori, misalnya:
1.          Orang dan jenis kelamin
2.          Profesi
3.          Kata benda, kata kerja, kata siifat, kata depan
4.          Binatang
5.          Bagian tubuh
6.          Pakaian dan perlengkapannya
7.          Jenis pekerjaan
8.          Rumah dan perlengkapannya
9.          Makanan
10.       Perlengkapan masak
11.       Transportasi
12.       Tempat-tempat umum
13.       Waktu dan cuaca
Cara praktis meng"set up" situasi untuk menciptakan "functional comunication" adalah sebagai berikut:
1.             Cari tahu hal yang paling menyenangkan buat anak, misalkan anak suka nonton film teletubis. Hal tersebut bisa digunakan untuk dijadikan situmulus untuk mengajari anak "functional comunication".
2.             Mengetahui kemampuan anak untuk berkomunikasi samapi sejauh mana, dan kemudian ditetapkan "target" respon yang diharapkan. Misalkan, kalau anak belum sama sekali berkomunikasi..maka target perilaku komunikasi yang diharapkan adalah"menunjuk/komunikasi bahasa tubuh" dulu. Bila anak sudah bisa berbicara...maka targetnya adalah mengucapkan satu kata, dua kata, dan sebagainya.
3.             "set up" situation dimana anak harus mengkomunikasikan apa yang dinginkan kepada orang lain. Misalkan, saat dia ingin menonton "teletubies", kita letakan kaset telutubies favoritenya di tempat yang anak tidak bisa menjangkaunya, kemudian minta dia untuk menunjuk ketempat kaset diletakan, atau bilang"minta" kepada kita bila dia ingin kaset tersebut, dan sebagainya, sesuai dengan target perilaku komunikasi yang sudah ditetapkan pada point 2. Pada awalnya, kita bantu dengan prompt verbal atau prompt model sehingga anak menerima pembelajaran "functional komunikasi" ini dengan bersih. Anak menerima pesan, bila dia ingin sst dia harus mengatakan keinginannya pada orang lain dalam bentuk bahasa tubuh atau verbal, dan kedua menghindari anak "tantrum" karena memang belum mengerti apa yang kita inginkan darinya. (bantu anak pada awalnya, bila anak bisa mengikuti target perilaku komunikasi yang kita mau--berikan apa yang diminta, kemudian puji anak sebagai reward yang memotivasi ! anak untuk melakukan hal yang sama. Setelah itu, dicoba satu kali lagi "trialnya" tanpa dibantu untuk memastikan apakah anak mengerti pesan atau keinginan atau goal dari "trial" tersebut. Bila anak bisa, berikan dia reward yang lebih besar lagi, seperti sorakan dan sebagainya. Bila anak tidak bisa cukup bilang "coba lagi ya?!", setelah itu bantu anak sekali lagi dan langsung lepaskan anak dari trial tersebut, agar anak tidak "frustrasi". Trial tersebut bisa dicoba pada kesempatan yang berbeda. Sebisa mungkin buat situasi menyenangkan bagi anak..mengingat komunikasi adalah masalah yang sulit buat anak penyandang autisme.
4.             Pastikan dalam setiap trial atau set up situation yang diciptakan, anak bekerja dengan bersih, including eye contact, bahasa tubuh yang dimaksud, artikulasi kata, dan sebagainya.
5.             Evaluasi kemampuan anak, kemudian kembangkan "functional comunication" ini seterusnya. Misalkan, yang tadi hanya menunjuk, selanjutnya harus mengatakan benda yang dimaksud, atau yang tadinya satu kata, harus bisa dua kata "minta kaset"..dan sebagainya. Dengan begitu anak akan tertantang terus untuk berkomunikasi.
6.             Yang terpenting adalah konsisten dalam menjalankan. Dalam arti semua orang dalam keluarga harus memperlakukan hal yang sama untuk anak, jadi anak mengerti itu adalah aturan main yang harus dia lakukan bila menginginkan sesuatu.

Refferensi:

Gangguan Berbahasa Anak Autis


Gangguan Berbahasa pada Anak Autis
Oleh Jamiatul Armisa



1. Pengertian Komunikasi
Istilah komunikasi sering diartikan sebagai kemampuan bicara, padahal komunikasi lebih luas dibandingkan dengan bahasa dan bicara. Oleh karena itu agar komunikasi tidak diartikan secara sempit, perlu kiranya dijelaskan tentang pengertian komunikasi.
Komunikasi secara terminoligis berarti penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang pada orang lain sebagai konsekuensi dari hubungan sosial (Sunardi dan Sunaryo, 2006:174). Pengertian komunikasi disini lebih menekankan komunikasi sebagai alat hubungan sosial sebagai konsekuensi dari manusia sebagai makhluk sosial. Sehingga untuk menjalankan perannya sebagai makhluk sosial manusia harus berkomunikasi.
Menurut Quill (1995) dalam Gardner, et al. (1999:2) menyatakan bahwa komunikasi merupakan proses yang dinamis di dalamya terjadi proses enkoding dari penyampai pesan dan dekoding dari penerima pesan, terjadi pertukaran iformasi, penyampaian perasaan (melibatkan emosi), ada tujuan-tujuan tertentu serta ada penyampaian ide. Dari pengertian komunikasi tersebut dapat dikatakan bahwa komunikasi itu selalu melibatkan dua individu atau lebih dan yang terpenting adalah keinginan, maksud, pesan atau tujuan pengirim pesan dapat diterima dan dipahami oleh penerima pesan. Komunikasi menjadi aspek penting untuk mengekspresikan perasaan, gagasan, keinginan, dan kebutuhan-kebutuhan.
Untuk melakukan komunikasi ternyata dibutuhkan alat. Alat utama dalam komunikasi adalah bahasa (Jordan dan Powell, 2002:51). Berarti komunikasi itu melibatkan bahasa verbal maupun non verbal, mencakup lisan, tulisan, bahasa isyarat, bahasa tubuh, dan ekspresi wajah.
Dari pengertian komunikasi di atas ada tiga hal penting yang berkaitan dengan komunikasi, pertama, komunikasi harus melibatkan dua orang atau lebih, kedua, komunikasi merupakan pertukaran informasi yang bersifat dua arah, dan ketiga, mengandung pemahaman. Sebuah pengumunan yang dipasang di papan pengumuman bukan merupakan komunikasi. Tapi kalau pengumuman itu talh dibaca, dimengerti, dan ditanggapi, maka pengumuman itu bisa disebut komunikasi. Komunikasi dikatakan efektif hanya jika suatu gagasan dapat berpindah dari pemikian seseorang ke pemikiran orang lain (Moore, 1987:79).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah suatu proses dinamis yang menggunakan bahasa sebagai alat utamanya dalam rangka individu melakukan hubungan sosial dengan individu lainnya yang di dalamnya melibatkan ekspresi perasaan, penyampaian ide, keinginan, kebutuhan-kebutuhan, dan tujuan.
2. Jenis Komunikasi
Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya bahwa alat/media utama komunikasi adalah bahasa, sementara bahasa itu sendiri secara umum terbagi dua, yaitu bahasa verbal (lisan) dan non verbal (isyarat, gerak tubuh, ekspresi wajah, tulisan). Oleh karena itu komunikasi berlangsung tidak hanya dengan menggunakan kata-kata tetapi juga dengan bantuan tindakan, gerak isyarat, ekspresi wajah, gambar yang bermakna, dan tulisan.
Berdasrkan hal tersebut maka jenis komunikasi itu ada dua, yaitu:
-        Komunikasi verbal (lisan)          
-        Komunikasi non verbal (isyarat, gerak tubuh, ekspresi wajah, tulisan)
3. Perkembangan Komunikasi Pada Anak
Perkembangan komunikasi anak pada umumnya berawal dari tangisan bayi yang memberi tahu ibunya bahwa ia merasa lapar atau tidak nyaman. Usia sekitar 2 bulan bayi sudah mengeluarkan suara-suara (cooing) atau tertawa, bila ia merasa senang. Kemudian berkembang menjadi babbling atau pengulangan rangkaian konsonan-vokal misalnya, ma-ma-ma, ba-ba-ba. Usia sekitar 10 bulan, bayi sudah mulai mengenal kata-kata tapi belum mampu mengucapkannya dan kemudian mengucapakan kata pertamanya pada saat ia berusia sekitar 1 tahun.
Perkembangan bicara anak pada umumnya akan terus berkembang dengan pesat sehingga dalam rentang usia 16-24 bulan perbendaharaan kata yang dimiliki oleh anak meningkat dari 50 kata menjadi kurang lebih 400 kata. Saat berusia 2 tahun, anak seharusnya sudah mampu menggunakan kata kerja, kata sifat dan melakukan pengungkapan diri dengan kalimat yang terdiri dari 2 kata.
Menginjak usia 3 tahun, cara anak berbicara sudah menyamai cara orang dewasa berbicara secara informal. Anak sudah menguasai hampir 1000 kata, dapat menyusun kalimat dengan benar dan dapat berkomunikasi dengan baik. Disamping menggunakan bahasa, anak pada umumnya juga mampu berkomunikasi dengan gestur dan simbol-simbol lainnya (Papalia, 1995 dalam Riyanti, 2002:12).
Menurut Sussman (1999) dalam Sjah dan Fadhilah (2003:214) komunikasi berkembang melalui empat tahapan:
a. The own agenda stage
Pada tahap ini anak lebih suka bemain sendiri dan tampaknya tidak tertarik pada orang-orang di sekitarnya. Anak belum tahu bahwa dengan komunikasi ia dapat mempengaruhi orang lain. Untuk mengetahui keinginannya, kita harus memperhatikan gerak tubuh dan ekspresi wajah anak. Seringkali anak mengambil sendiri benda-benda yang diinginkannya.
b. The requester stage
Anak mulai menyadari bahwa tingkah lakunya dapat mempengaruhi orang di sekitarnya.. bila menginginkan sesuatu, anak biaanya menarik tangan kita dan mengarahkannya ke benda yang diinginkan. Sebagian anak telah mampu mengulangi kata-kata atau suara tetapi bukan untuk berkomunikasi melainkan untuk menenangkan dirinya. Anak juga mulai bisa mengikuti perintah sederhana tapi responnya belum konsisten.
c. The early communication stage
Anak telah menyadari bahwa ia bisa menggunakan satu bentuk komunikasi tertentu secara knsisten pada situasi khusus. Namun demikian, inisiatif berkomunikasi masih terbatas pada pemenuhan kebutuhannya. Anak mulai memahami isyarat visual/gambar komunikasi dan memahami kalimat-kalimat sederhana yang kita ucapkan. Bila terlihat perkembangan bahwa anak mulai memanggil nama, menunjuk sesuatu yang diinginkan, atau melakukan kontak mata untuk menarik perhatian, maka berarti anak sudah siap untukmelakukan komunikasi dua arah.
d. The partner stage
Tahap ini merupakan fase yang paling efektif. Bila kemampuan bicara anak baik, ia akan mampu melakukan percakapan sederhana. Anak juga dapat diminta untuk menceritakan pengalamannya, keinginannya yang belum terpenuhi dan mengekspresikan perasaanya. Namun demikian, biasanya anak masih terpaku pada kalimat-kalimat yang telah dihapalkan dan sulit menemukan topik pembicaraan yang tepat pada situasi baru. Bagi anak-anak yang masih mengalami kesulitan untuk berbiara, komunikasi dapat dilakukan dengan menggunakan rangkaian gambar atau menyusun kartu-kartu bertulisan.
Agar lebih jelas mengenai pekembangan komunikasi tersebut, di bawah ini akan diberikan contoh-contoh perkembangan komunikasi pada anak menurut Rowland dan Stremmel (1987) dalam Gardner et al (1999:3) sebagai berikut:
a. Perilaku Pra-tujuan
  • Cooing (mengeluarkan suara-suara)
  • Tertawa sendiri
  • Tiba-tiba menangis tanpa sebab
  • Ekspresi wajah tanpa tujuan
  • Menggerakkan kepala
  • Gerakan badan yang tidakberaturan
b. Perilaku bertujuan
  • Memperhatikan suatu objek
  • Tersenyum
  • Bergerak ke suatu arah
  • Meraih sesuatu atau mendorong sesuatu
  • Rewel
c. Komunikasi pra simbolik non konvensional
  • Tertawa
  • Membuat suara tak beraturan
  • Kontak amata atau menggerakkan mata untuk mengikuti gerakan tangan orang lain dan mencoba meraihnya
d. Komunikasi pra simbolik konvensional
  • Mengeluarkan pola suara yang beraturan (dada, mama, baba),
  • menunjuk/mengarahkan tangan
  • mengayunkan tangan dan kaki
  • mencium
  • memeluk
  • memilih salah satu dari dua objek
e. Komunikasi simbol kongkrit
  • Mengeluakan suara untuk menunjuk objek tertentu
  • Menggunakan gestur sederhana/gerak anggota tubuh untuk mengungkapkan sesuatu, misalnya menepuk-nepuk kursi sebagaikeinginan untuk duduk di kursi.
  • Menggunakan objek kongkrit
  • Menggunakan gambar foto
f. Komunikasi simbol abstrak
§        Menggunakan kata-kata tunggal/dasar
§        Menggunakan isyarat
§        Menggunakan gambar abstrak (gambar outline)
g. Komunikasi simbol formal (berbahasa)
§        Mengkombinasikan dua kata atau lebih
§        Mengkombinasikan gambar atau simbol
§        Mengkombinasikan kata-kata yang tertulis
Salah satu kesulitan yang dimiliki oleh anak autis adalah dalam hal komunikasi (Delphie, 2006:1). Oleh karena itu perkembangan komunikasi pada anak autis sangat berbeda, terutama pada anak-anak yang mengalami hambatan yang berat dalam penguasaan bahasa dan bicara.
Kesulitan dalam komunikasi ini dikarenakan anak autis mengalami gangguan dalam berbahasa (verbal dan non verbal), padahal bahasa merupakan media utama dalam komunikasi. Mereka sering kesulitan untuk mengkomunikasikan keinginannya baik secara verbal (lisan/bicara) maupun non verbal (isyarat/gerak tubuh dan tulisan).
Sebagian besar dari mereka dapat berbicara, menggunakan kalimat pendek dengan kosa kata sederhana namun kosa katanya terbatas dan bicaranya sulit dipahami. Karena kosa katanya terbatas maka banyak perkataan yang mereka ucapkan tidak dipahaminya. Mereka yang dapat berbicara senang meniru ucapan dan membeo (echolalia). Beberapa diantara mereka sering kali menunjukkan kebingungan akan kata ganti. Contoh, mereka tidak menggunakan kata saya dan kamu secara benar, atau tidak mengerti ketika lawan bicaranya beralih dari kamu menjadi saya atau sebaliknya (Riyanti, 2002:16).
Pada saat anak pada umumnya sudah mengetahui nama, mampu merespon terhadap ya dan tidak, mengerti konsep abstrak laki-laki – perempuan, dan mengikuti perintah-perintah sederhana. Sementara itu pada anak autis mungkin hanya echolalia terhadap apa yang dikatakan atau tidak bicara sama sekali.
Anak pada umumnya biasanya mulai mengoceh sekitar umur enam bulan. Ia mulai bicara dalam bentuk kata pada umur satu tahun dan merangkai dua atau tiga kata dalam satu kalimat sebelum delapan belas bulan. Sedangkan pada anak autis sebaliknya, ia tidak memiliki pola perkembangan bahasa. Kemampuan komunikasi mereka bervairasi, diantara mereka ada yang tidak pernah bicara, seperti anak pada umumnya sampai delapan belas bulan atau dua puluh bulan, kadang-kadang kemampuan bicara mereka hilang begitu saja.
Anak autis yang sulit berbicara, seringkali mengungkapkan diri atau keinginannya melalui perilaku. Memang untuk beberapa kasus anak autis yang ada yang sudah mampu menyampaikan keinginannya dengan cara menarik tangan orang yang didekatnya atau menunjuk ke suatu arah yang diinginkan, atau mungkin menjerit. Jika orangtua atau orang disekitarnya tidak memahami apa yang diinginkannya anak akan marah-marah, mengamuk dan mungkin tantrumnya akan muncul.
Siegel (1996:44) secara umum menggambarkan perkembangan komuniksi anak autis terbagi dalam dua bagian, yaitu:
1. Perkembangan komunikasi verbal, meliputi keterlambatan berbahasa bahkan ada diantara mereka yang kemampuan berbahasanya hilang, echolalia dan menggunakan bahasa yang aneh/tidak dimengerti, menggunakan bahasa sederhana (misalnya minta makan:”Makan, ya!”).
2. Perkembangan komunikasi non verbal, meliputi menggunakan gestur, gerak tubuh, mengungkapkan keinginan dengan ekspresi emosi (menjerit, marah-marah, menangis).
Dengan perkembangan komunikasi seperti telah disampaikan di atas jelaslah anak autis akan menghadapi berbagai kesulitan untuk mengungkapkan keinginannya dan dengan kemampuan komunikasi seperti demikian perlu adanya suatu cara yang dapat membantu mereka untuk berkomunikasi dengan lingkungannya.

 Lee, Hobson, dan Chiat (1994) meneliti penggunaan kata ganti pada para remaja  yang mengalami gangguan autis  dan melaporkan adanya kecenderungan  mereka menyebut si peneliti dan diri mereka sendiri menggunakan nama dan bukan dengan kata ganti diri. Anak-anak ini mengalami kesulitan menggunakan kata ganti diri (saya, anda, kami, mereka, dia) sepanjang hidup mereka, meskipun ada perbaikan secara bertahap .
Orang yang mengalami gangguan autis  cenderung menggunakan informasi yang terlalu detil tapi tidak relevan dalam pecakapan (contoh, menyebutkan tanggal dan usia ketika membicarakan peristiwa atau orang tertentu),  berbicara berlebihan pada satu topik percakapan, berpindah ke topik yang tidak semestinya, dan mengabaikan umpan pembicaraan yang dikemukakan oleh lawan bicara (Taber-Flushbrg, 1999, 2001; Easles, 1993). Cappas, Kehres, dan Sigman (1998) menemukan bahwa anak-anak dengan gangguan autis menunjukkan kesulitan berkomunikasi dua arah karena tidak adanya daya tanggap terhadap pertanyaan dan komentar. Anak-anak dengan gangguan autis juga tidak banyak memberikan informasi spontan dibanding dengan anak-anak dengan kelambatan perkembangan lain dalam hal kemampuan bahasa. Easles (1993) berpendapat bahwa gangguan-gangguan fragmatis ini disebabkan oleh gangguan dalam memahami niat atau maksud orang lain selama percakapan.
Kesulitan-kesulitan dengan aspek fragmatik atau sosial dalam bahasa juga dijumpai diantara orang-orang dewasa yang mengalami gangguan autis (Lord & Paul, 1997). Selain kerusakan fragmatis, individu dengan gangguan autis biasanya mengalami kesulitan dalam aspek-aspek semantik bahasa.
Anak autism dengan ganguan komunikasi  haruis dilakukan observasi dan penilaian secara menyeluruh termasuk penilaian oral motor dan sistem motor bicara. Dr. Michael Crary menganjurkan beberapa hal tentang observasi dan evaluasi termasuk :
·                 FUNGSI MOTOR BUKAN BICARA :                                               
Fungsi motor bukan bicara meliputi posisi tubuh dan cara berjalan, koordinasi gerakan motorik kasar dan halus, koordinasi gerakan mulut, posisi mulut,  air liur menetes terus, menelan, mengunyah, struktur mulut, simetris,
·                 FUNGSI MOTOR BICARA :                                                            
Kemampuan dan usaha dalam proses bicara seperti deviasi dalam prosodi (kecepatan, volume, intonasi dll), kelancaran bicara, hiper/hiponasaliti,  diodochokinesis bicara (seperti pengulangan . “puh-puh-puh”, “puh-tuh-kuh” ), kemauan dan usaha secara spontan.  
·                 KEMAMPUAN ARTIKULASI DAN FONOLOGI:
Gangguan komunikasi pada anak penyandang autisme, bisa dibedakan menjadi dua bagian: gangguan komunikasi verbal dan non verbal. Gangguan komunikasi verbal dimana anak bisa bicara tapi bicara tidak digunakan untuk komunikasi. Contohnya, membeo, ekolali, dan berbicara dalam situasi yang salah. Sebaliknya, gangguan komunikasi non verbal nampak dari hal-hal sederhana seperti kontak mata  minimal, tidak memahami bahasa tubuh, sampai dengan terlambat bicara atau sama sekali tidak bisa berbicara.
Dilihat dari penyebabnya: gangguan komunikasi bisa disebabkan oleh gangguan pada masalah memproduksi kata-kata karena motorik mulut, gangguan pada pendengaran sehingga tidak bisa mendengar kata apalagi mengingat kata-kata dengan jelas, tidak memahami arti kata-kata dan mengasosiasikan dengan situasi, dan lingkungan tidak mendukung anak untuk termotivasi berbicara atau mengembangkan kemampuan bicaranya.
Anak-anak autis menguasai bahasa verbal melalui tahapan-tahapan perkembangan tata bahasa yang sama dengan anak-anak pada umumnya  meskipun agak lambat (Tager, Flusbrg, 1999).  Anak-anak dengan autisme cenderung mengandalkan pada sintaksis dan bukan pada isi semantik dalam memahami bahasa (contoh, banyak mengandalkan pada kata  ketika menentukan makna suatu kalimat).
Hambatan-Hambatan Berkomunikasi pada Anak Autis
Anak autis mengalami gangguan perkembangan yang kompleks sehingga mereka juga disebut mengalami gangguan pervasif. Peeters (2004:4) mengartikan pervasif yaitu menderita kerusakan jauh di dalam meliputi keseluruhan dirinya. Istilah pervasif juga dilandasi oleh gangguan perkembangan yang diperlihatkan oleh anak autis.
Gangguan-gangguan itu hampir meliputi seluruh aspek kehidupannya, antara lain komunikasi, interaksi sosial, gangguan dalam sensoris, pola bermain, perilaku khas, dan emosi (Riyanti, 2002:10, Peeters, 2004:5; Hidayat, 2006:2; Sunardi dan Sunaryo, 2006:193). Gangguan-gangguan tersebut jelas akan mengahambat perkembangan anak autis.
Di bawah ini dijelaskan hambatan atau gangguan-gangguan berkomunikasi yang sering diperlihatkan oleh anak autis, diantaranya adalah:
§     Perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak ada.
§     Anak tampak seperti tuli, sulit bicara, atau pernah bicara, tetapi kemudian sirna.
§     Kadang kata-kata yang digunakan tidak sesuai artinya.
§     Mengoceh tanpa arti berulang-ulang dengan bahasa yang tidak dapat dimengerti oleh orang lain.
§     Bicara tidak dipakai untuk alat berkomunikasi
§     Senang meniru atau membeo (echolalia)
§     Bila senang meniru, dapat hapal betul kata-kata atau nyanyian tapi tidak mengerti artinya.
§     Sebagian dari anak autis tidak bicara (non verbal) atau sedikit berbicara sampai usia dewasa.
§     Senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang ia inginkan.
Peningkatan Keterampilan Komunikasi Bagi Anak Autis dengan
Media PECS
1. Pengertian PECS
PECS (Picture Exchange Communication System) adalah suatu pendekatan untuk melatih komunikasi dengan menggunakan simbol-simbol verbal (Bondy dan Frost, 1994:2). PECS dirancang oleh Andrew Bondy dan Lori Frost pada tahun 1985 dan mulai dipublikasikan pada tahun 1994 di Amerika Serikat. Awalnya PECS ini digunakan untuk siswa-siswa pra sekolah yang mengalami autisme dan kelainan lainnya yang berkaitan dengan gangguan komunikasi. Siswa yang menggunakan PECS ini adalah mereka yang perkembangan bahasanya tidak menggembirakan dan mereka tidak memiliki kemauan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dalam perkembangan selanjutnya, penggunaan PECS telah meluas dapat digunakan untuk berbagai usia dan lebih diperdalam lagi.
Dengan menggunakan PECS bukan berarti menyerah bahwa anak tidak akan bicara, tetapi dengan adanya bantuan gambar-gambar atau simbol-simbol maka pemahaman terhadap bahasa yang disampaikan secara verbal dapat dipahami secara jelas. Memang, pada tahap awalnya anak diperkenalkan dengan simbol-simbol non verbal. Namun pada fase akhir dalam penggunaan PECS ini, anak dimotivasi untuk berbicara. Meskipun PECS bukanlah program untuk mengajarkan anak autis cara berbicara, pada akhirnya mendorong mereka untuk berbicara.
Ada kekhawatiran orangtua terhadap anaknya yang menggunakan PECS ini. Mereka khawatir anaknya tidak bisa bicara dan ketergantungan terhadap gambar. Untuk itu Schwartz (1998) dalam www. autism.healingthresholds.com) melakukan penelitian pada 18 orang anak-anak pra sekolah yang mengalami gangguan berbahasa, beberapa diantara mereka didiagnosa sebagai anak autis. Mereka mendapat penanganan dengan menggunakan PECS. Anak-anak tersebut menggunakan PECS untuk berkomunikasi selama di sekolah, tidak hanya pada sesi latihan saja. Ternyata setelah setahun, lebih dari setengahnya telah berhenti menggunakan PECS dan mulai menggunakan kemampuan bicara alaminya.
Tidak ditemukan adanya dampak negatif dari penggunaan PECS ini (Bondy, 2001). Ada pun kekhawatiran akan adanya ketergantungan pada PECS dan keterampilan bicara anak autis menjadi tidak berkembang, pandangan/kekhawatiran itu tidak didasari oleh hasil penelitian. Kenyataanya banyak bukti bahwa anak-anak autis yang menggunakan PECS perkembangan keterampilan bicaranya lebih cepat dibandingkan dengan yang tidak menggunakan PECS (Bondy, 2001).
Penelitian terakhir oleh Yoder dan Stone (2006) membandingkan antara anak-anak yang menggunakan PECS dengan sistem yang lain. Hasilnya menunjukkan bahwa anak-anak autis yang dilatih dengan menggunakan PECS lebih verbal dibandingkan dengan yang lain. PECS ini akan lebih efektif mendorong anak autis untuk lebih verbal jika dilatihkan pada anak berusia di bawah enam tahun.
Berdasarkan pengalaman Wallin (2007:1) ada beberapa keunggulan yang dimiliki oleh PECS ini, diantaranya:
§ Setiap pertukaran menunjukkan tujuan yang jelas dan mudah dipahami. Pada saat tangan anak menunjuk gambar atau kalimat, maka dapat dengan cepat dan mudah permintaan atau pendapatnya itu dipahami. Melalui PECS, anak telah diberikan jalan yang lancar dan mudah untuk menemukan kebutuhannya.
§ Sejak dari awal, tujuan komunikasi ditentukan oleh anak. Anak-anak tidak diarahkan untuk merespon kata-kata tertentu atau pengajaran yang ditentukan oleh orang dewasa, akan tetapi anak-anak didorong untuk secara mandiri memperoleh “jembatan” komunikasinya dan terjadi secara alamiah. Guru atau pembimbing mencari apa yang anak inginkan untuk dijadikan penguatan dan jembatan komunikasi dengan anak.
§ Komunikasi menjadi sesuatu penuh makna dan tinggi motivasi bagi anak autis.
§ Material (bahan-bahan) yang digunakan cukup murah, mudah disiapkan, dan bisa dipakai kapan saja dan dimana saja. Simbol PECS dapat dibuat dengan digambar sendiri atau dengan foto.
§ PECS tidak membatasi anak untuk berkomunikasi dengan siapapun. Setiap orang dapat dengan mudah memahami simbol PECS sehingga anak autis dapat berkomunikasi dengan orang lain tidak hanya dengan keluarganya sendiri.
Pembelajaran komunikasi melalui PECS ini harus dimulai dari objek yang benar-benar anak inginkan. Oleh karenanya menurut Bondy dan Frost (1994) dalam Gardner, et al. (1999:11) dalam penerapan PECS ini perlu adanya penggunaan modifikasi perilaku. Melalui modifikasi perilaku tersebut akan diketahui apa yang anak inginkan. Objek yang diinginkan tersebut akan menjadi penguatan bagi anak untuk melakukan komunikasi melalui pertukaran gambar.
2. Menyiapkan Material (Bahan-bahan) yang Digunakan
Material yang digunakan dalam PECS cukup murah. Simbol atau gambar dapat diperoleh dengan cara menggambar sendiri, dari majalah atau koran, foto, atau gambar dari komputer (clip art atau dari internet). Bisa juga menggunakan material resmi PECS yang diterbitkan oleh Pyramid Educational Consultants. Inc. Gambar-gambar atau simbol itu dibentuk kartu kemudian dilaminating agar awet dan di belakang gambar itu dipasang pengait (velcro) atau double tape agar bisa dipasang atau digantung pada berbagai media. Untuk menyimpan kartu gambar diperlukan file.
Dibawah ini sebagian contoh gambar yang dapat di gunakan:
contohgambar1
contohgambar2
Sumber: www.widgit.com
Gambar-gambar dan simbol dikelompokkan dan disusun dari yang paling mudah sampai yang paling sulit. Gambar dan simbol dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa kategori, misalnya:
1.          Orang dan jenis kelamin
2.          Profesi
3.          Kata benda, kata kerja, kata siifat, kata depan
4.          Binatang
5.          Bagian tubuh
6.          Pakaian dan perlengkapannya
7.          Jenis pekerjaan
8.          Rumah dan perlengkapannya
9.          Makanan
10.       Perlengkapan masak
11.       Transportasi
12.       Tempat-tempat umum
13.       Waktu dan cuaca
Cara praktis meng"set up" situasi untuk menciptakan "functional comunication" adalah sebagai berikut:
1.             Cari tahu hal yang paling menyenangkan buat anak, misalkan anak suka nonton film teletubis. Hal tersebut bisa digunakan untuk dijadikan situmulus untuk mengajari anak "functional comunication".
2.             Mengetahui kemampuan anak untuk berkomunikasi samapi sejauh mana, dan kemudian ditetapkan "target" respon yang diharapkan. Misalkan, kalau anak belum sama sekali berkomunikasi..maka target perilaku komunikasi yang diharapkan adalah"menunjuk/komunikasi bahasa tubuh" dulu. Bila anak sudah bisa berbicara...maka targetnya adalah mengucapkan satu kata, dua kata, dan sebagainya.
3.             "set up" situation dimana anak harus mengkomunikasikan apa yang dinginkan kepada orang lain. Misalkan, saat dia ingin menonton "teletubies", kita letakan kaset telutubies favoritenya di tempat yang anak tidak bisa menjangkaunya, kemudian minta dia untuk menunjuk ketempat kaset diletakan, atau bilang"minta" kepada kita bila dia ingin kaset tersebut, dan sebagainya, sesuai dengan target perilaku komunikasi yang sudah ditetapkan pada point 2. Pada awalnya, kita bantu dengan prompt verbal atau prompt model sehingga anak menerima pembelajaran "functional komunikasi" ini dengan bersih. Anak menerima pesan, bila dia ingin sst dia harus mengatakan keinginannya pada orang lain dalam bentuk bahasa tubuh atau verbal, dan kedua menghindari anak "tantrum" karena memang belum mengerti apa yang kita inginkan darinya. (bantu anak pada awalnya, bila anak bisa mengikuti target perilaku komunikasi yang kita mau--berikan apa yang diminta, kemudian puji anak sebagai reward yang memotivasi ! anak untuk melakukan hal yang sama. Setelah itu, dicoba satu kali lagi "trialnya" tanpa dibantu untuk memastikan apakah anak mengerti pesan atau keinginan atau goal dari "trial" tersebut. Bila anak bisa, berikan dia reward yang lebih besar lagi, seperti sorakan dan sebagainya. Bila anak tidak bisa cukup bilang "coba lagi ya?!", setelah itu bantu anak sekali lagi dan langsung lepaskan anak dari trial tersebut, agar anak tidak "frustrasi". Trial tersebut bisa dicoba pada kesempatan yang berbeda. Sebisa mungkin buat situasi menyenangkan bagi anak..mengingat komunikasi adalah masalah yang sulit buat anak penyandang autisme.
4.             Pastikan dalam setiap trial atau set up situation yang diciptakan, anak bekerja dengan bersih, including eye contact, bahasa tubuh yang dimaksud, artikulasi kata, dan sebagainya.
5.             Evaluasi kemampuan anak, kemudian kembangkan "functional comunication" ini seterusnya. Misalkan, yang tadi hanya menunjuk, selanjutnya harus mengatakan benda yang dimaksud, atau yang tadinya satu kata, harus bisa dua kata "minta kaset"..dan sebagainya. Dengan begitu anak akan tertantang terus untuk berkomunikasi.
6.             Yang terpenting adalah konsisten dalam menjalankan. Dalam arti semua orang dalam keluarga harus memperlakukan hal yang sama untuk anak, jadi anak mengerti itu adalah aturan main yang harus dia lakukan bila menginginkan sesuatu.

Refferensi: