Gangguan Berbahasa pada Anak Autis
Oleh Jamiatul Armisa
1. Pengertian Komunikasi
Istilah
komunikasi sering diartikan sebagai kemampuan bicara, padahal komunikasi lebih
luas dibandingkan dengan bahasa dan bicara. Oleh karena itu agar komunikasi
tidak diartikan secara sempit, perlu kiranya dijelaskan tentang pengertian
komunikasi.
Komunikasi
secara terminoligis berarti penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang pada
orang lain sebagai konsekuensi dari hubungan sosial (Sunardi dan Sunaryo,
2006:174). Pengertian komunikasi disini lebih menekankan komunikasi sebagai
alat hubungan sosial sebagai konsekuensi dari manusia sebagai makhluk sosial.
Sehingga untuk menjalankan perannya sebagai makhluk sosial manusia harus
berkomunikasi.
Menurut Quill
(1995) dalam Gardner, et al. (1999:2) menyatakan bahwa komunikasi merupakan
proses yang dinamis di dalamya terjadi proses enkoding dari penyampai pesan dan
dekoding dari penerima pesan, terjadi pertukaran iformasi, penyampaian perasaan
(melibatkan emosi), ada tujuan-tujuan tertentu serta ada penyampaian ide. Dari
pengertian komunikasi tersebut dapat dikatakan bahwa komunikasi itu selalu
melibatkan dua individu atau lebih dan yang terpenting adalah keinginan,
maksud, pesan atau tujuan pengirim pesan dapat diterima dan dipahami oleh
penerima pesan. Komunikasi menjadi aspek penting untuk mengekspresikan
perasaan, gagasan, keinginan, dan kebutuhan-kebutuhan.
Untuk melakukan
komunikasi ternyata dibutuhkan alat. Alat utama dalam komunikasi adalah bahasa (Jordan
dan Powell, 2002:51). Berarti komunikasi itu melibatkan bahasa verbal maupun
non verbal, mencakup lisan, tulisan, bahasa isyarat, bahasa tubuh, dan ekspresi
wajah.
Dari pengertian
komunikasi di atas ada tiga hal penting yang berkaitan dengan komunikasi,
pertama, komunikasi harus melibatkan dua orang atau lebih, kedua, komunikasi
merupakan pertukaran informasi yang bersifat dua arah, dan ketiga, mengandung
pemahaman. Sebuah pengumunan yang dipasang di papan pengumuman bukan merupakan
komunikasi. Tapi kalau pengumuman itu talh dibaca, dimengerti, dan ditanggapi,
maka pengumuman itu bisa disebut komunikasi. Komunikasi dikatakan efektif hanya
jika suatu gagasan dapat berpindah dari pemikian seseorang ke pemikiran orang
lain (Moore, 1987:79).
Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah suatu proses dinamis yang menggunakan
bahasa sebagai alat utamanya dalam rangka individu melakukan hubungan sosial
dengan individu lainnya yang di dalamnya melibatkan ekspresi perasaan,
penyampaian ide, keinginan, kebutuhan-kebutuhan, dan tujuan.
2. Jenis Komunikasi
Sebagaimana telah dikatakan
sebelumnya bahwa alat/media utama komunikasi adalah bahasa, sementara bahasa
itu sendiri secara umum terbagi dua, yaitu bahasa verbal (lisan) dan non verbal
(isyarat, gerak tubuh, ekspresi wajah, tulisan). Oleh karena itu komunikasi
berlangsung tidak hanya dengan menggunakan kata-kata tetapi juga dengan bantuan
tindakan, gerak isyarat, ekspresi wajah, gambar yang bermakna, dan tulisan.
Berdasrkan hal
tersebut maka jenis komunikasi itu ada dua, yaitu:
- Komunikasi
verbal (lisan)
- Komunikasi
non verbal (isyarat, gerak tubuh, ekspresi wajah, tulisan)
3. Perkembangan Komunikasi Pada
Anak
Perkembangan
komunikasi anak pada umumnya berawal dari tangisan bayi yang memberi tahu ibunya
bahwa ia merasa lapar atau tidak nyaman. Usia sekitar 2 bulan bayi sudah
mengeluarkan suara-suara (cooing) atau tertawa, bila ia merasa senang. Kemudian
berkembang menjadi babbling atau pengulangan rangkaian konsonan-vokal misalnya,
ma-ma-ma, ba-ba-ba. Usia sekitar 10 bulan, bayi sudah mulai mengenal kata-kata
tapi belum mampu mengucapkannya dan kemudian mengucapakan kata pertamanya pada
saat ia berusia sekitar 1 tahun.
Perkembangan
bicara anak pada umumnya akan terus berkembang dengan pesat sehingga dalam
rentang usia 16-24 bulan perbendaharaan kata yang dimiliki oleh anak meningkat
dari 50 kata menjadi kurang lebih 400 kata. Saat berusia 2 tahun, anak
seharusnya sudah mampu menggunakan kata kerja, kata sifat dan melakukan
pengungkapan diri dengan kalimat yang terdiri dari 2 kata.
Menginjak usia
3 tahun, cara anak berbicara sudah menyamai cara orang dewasa berbicara secara
informal. Anak sudah menguasai hampir 1000 kata, dapat menyusun kalimat dengan
benar dan dapat berkomunikasi dengan baik. Disamping menggunakan bahasa, anak
pada umumnya juga mampu berkomunikasi dengan gestur dan simbol-simbol lainnya
(Papalia, 1995 dalam Riyanti, 2002:12).
Menurut Sussman
(1999) dalam Sjah dan Fadhilah (2003:214) komunikasi berkembang melalui empat
tahapan:
a. The own
agenda stage
Pada tahap ini
anak lebih suka bemain sendiri dan tampaknya tidak tertarik pada orang-orang di
sekitarnya. Anak belum tahu bahwa dengan komunikasi ia dapat mempengaruhi orang
lain. Untuk mengetahui keinginannya, kita harus memperhatikan gerak tubuh dan
ekspresi wajah anak. Seringkali anak mengambil sendiri benda-benda yang
diinginkannya.
b. The
requester stage
Anak mulai
menyadari bahwa tingkah lakunya dapat mempengaruhi orang di sekitarnya.. bila
menginginkan sesuatu, anak biaanya menarik tangan kita dan mengarahkannya ke
benda yang diinginkan. Sebagian anak telah mampu mengulangi kata-kata atau
suara tetapi bukan untuk berkomunikasi melainkan untuk menenangkan dirinya.
Anak juga mulai bisa mengikuti perintah sederhana tapi responnya belum konsisten.
c. The
early communication stage
Anak telah
menyadari bahwa ia bisa menggunakan satu bentuk komunikasi tertentu secara
knsisten pada situasi khusus. Namun demikian, inisiatif berkomunikasi masih
terbatas pada pemenuhan kebutuhannya. Anak mulai memahami isyarat visual/gambar
komunikasi dan memahami kalimat-kalimat sederhana yang kita ucapkan. Bila
terlihat perkembangan bahwa anak mulai memanggil nama, menunjuk sesuatu yang
diinginkan, atau melakukan kontak mata untuk menarik perhatian, maka berarti
anak sudah siap untukmelakukan komunikasi dua arah.
d. The
partner stage
Tahap ini
merupakan fase yang paling efektif. Bila kemampuan bicara anak baik, ia akan
mampu melakukan percakapan sederhana. Anak juga dapat diminta untuk
menceritakan pengalamannya, keinginannya yang belum terpenuhi dan
mengekspresikan perasaanya. Namun demikian, biasanya anak masih terpaku pada
kalimat-kalimat yang telah dihapalkan dan sulit menemukan topik pembicaraan
yang tepat pada situasi baru. Bagi anak-anak yang masih mengalami kesulitan
untuk berbiara, komunikasi dapat dilakukan dengan menggunakan rangkaian gambar
atau menyusun kartu-kartu bertulisan.
Agar lebih
jelas mengenai pekembangan komunikasi tersebut, di bawah ini akan diberikan
contoh-contoh perkembangan komunikasi pada anak menurut Rowland dan Stremmel
(1987) dalam Gardner et al (1999:3) sebagai berikut:
a. Perilaku Pra-tujuan
- Cooing (mengeluarkan
suara-suara)
- Tertawa sendiri
- Tiba-tiba menangis tanpa sebab
- Ekspresi wajah tanpa tujuan
- Menggerakkan kepala
- Gerakan badan yang
tidakberaturan
b. Perilaku bertujuan
- Memperhatikan suatu objek
- Tersenyum
- Bergerak ke suatu arah
- Meraih sesuatu atau mendorong
sesuatu
- Rewel
c. Komunikasi pra simbolik non
konvensional
- Tertawa
- Membuat suara tak beraturan
- Kontak amata atau menggerakkan
mata untuk mengikuti gerakan tangan orang lain dan mencoba meraihnya
d. Komunikasi pra simbolik
konvensional
- Mengeluarkan pola suara yang
beraturan (dada, mama, baba),
- menunjuk/mengarahkan tangan
- mengayunkan tangan dan kaki
- mencium
- memeluk
- memilih salah satu dari dua
objek
e. Komunikasi simbol kongkrit
- Mengeluakan suara untuk
menunjuk objek tertentu
- Menggunakan gestur
sederhana/gerak anggota tubuh untuk mengungkapkan sesuatu, misalnya
menepuk-nepuk kursi sebagaikeinginan untuk duduk di kursi.
- Menggunakan objek kongkrit
- Menggunakan gambar foto
f. Komunikasi simbol abstrak
§ Menggunakan kata-kata tunggal/dasar
§ Menggunakan isyarat
§ Menggunakan gambar abstrak (gambar outline)
g. Komunikasi simbol formal (berbahasa)
§ Mengkombinasikan dua kata atau lebih
§ Mengkombinasikan gambar atau simbol
§ Mengkombinasikan kata-kata yang tertulis
Salah satu
kesulitan yang dimiliki oleh anak autis adalah dalam hal komunikasi (Delphie,
2006:1). Oleh karena itu perkembangan komunikasi pada anak autis sangat
berbeda, terutama pada anak-anak yang mengalami hambatan yang berat dalam
penguasaan bahasa dan bicara.
Kesulitan dalam
komunikasi ini dikarenakan anak autis mengalami gangguan dalam berbahasa
(verbal dan non verbal), padahal bahasa merupakan media utama dalam komunikasi.
Mereka sering kesulitan untuk mengkomunikasikan keinginannya baik secara verbal
(lisan/bicara) maupun non verbal (isyarat/gerak tubuh dan tulisan).
Sebagian besar
dari mereka dapat berbicara, menggunakan kalimat pendek dengan kosa kata
sederhana namun kosa katanya terbatas dan bicaranya sulit dipahami. Karena kosa
katanya terbatas maka banyak perkataan yang mereka ucapkan tidak dipahaminya.
Mereka yang dapat berbicara senang meniru ucapan dan membeo (echolalia).
Beberapa diantara mereka sering kali menunjukkan kebingungan akan kata ganti.
Contoh, mereka tidak menggunakan kata saya dan kamu secara benar, atau tidak
mengerti ketika lawan bicaranya beralih dari kamu menjadi saya atau sebaliknya
(Riyanti, 2002:16).
Pada saat anak
pada umumnya sudah mengetahui nama, mampu merespon terhadap ya dan tidak,
mengerti konsep abstrak laki-laki – perempuan, dan mengikuti perintah-perintah
sederhana. Sementara itu pada anak autis mungkin hanya echolalia terhadap apa
yang dikatakan atau tidak bicara sama sekali.
Anak pada
umumnya biasanya mulai mengoceh sekitar umur enam bulan. Ia mulai bicara dalam
bentuk kata pada umur satu tahun dan merangkai dua atau tiga kata dalam satu
kalimat sebelum delapan belas bulan. Sedangkan pada anak autis sebaliknya, ia
tidak memiliki pola perkembangan bahasa. Kemampuan komunikasi mereka
bervairasi, diantara mereka ada yang tidak pernah bicara, seperti anak pada
umumnya sampai delapan belas bulan atau dua puluh bulan, kadang-kadang
kemampuan bicara mereka hilang begitu saja.
Anak autis yang
sulit berbicara, seringkali mengungkapkan diri atau keinginannya melalui
perilaku. Memang untuk beberapa kasus anak autis yang ada yang sudah mampu
menyampaikan keinginannya dengan cara menarik tangan orang yang didekatnya atau
menunjuk ke suatu arah yang diinginkan, atau mungkin menjerit. Jika orangtua
atau orang disekitarnya tidak memahami apa yang diinginkannya anak akan
marah-marah, mengamuk dan mungkin tantrumnya akan muncul.
Siegel
(1996:44) secara umum menggambarkan perkembangan komuniksi anak autis terbagi
dalam dua bagian, yaitu:
1. Perkembangan
komunikasi verbal, meliputi keterlambatan berbahasa bahkan ada diantara mereka
yang kemampuan berbahasanya hilang, echolalia dan menggunakan bahasa yang
aneh/tidak dimengerti, menggunakan bahasa sederhana (misalnya minta
makan:”Makan, ya!”).
2. Perkembangan
komunikasi non verbal, meliputi menggunakan gestur, gerak tubuh, mengungkapkan
keinginan dengan ekspresi emosi (menjerit, marah-marah, menangis).
Dengan
perkembangan komunikasi seperti telah disampaikan di atas jelaslah anak autis
akan menghadapi berbagai kesulitan untuk mengungkapkan keinginannya dan dengan
kemampuan komunikasi seperti demikian perlu adanya suatu cara yang dapat
membantu mereka untuk berkomunikasi dengan lingkungannya.
Lee, Hobson, dan Chiat (1994)
meneliti penggunaan kata ganti pada para remaja yang mengalami gangguan
autis dan melaporkan adanya kecenderungan mereka menyebut si
peneliti dan diri mereka sendiri menggunakan nama dan bukan dengan kata ganti
diri. Anak-anak ini mengalami kesulitan menggunakan kata ganti diri (saya,
anda, kami, mereka, dia) sepanjang hidup mereka, meskipun ada perbaikan secara
bertahap .
Orang yang mengalami gangguan autis
cenderung menggunakan informasi yang terlalu detil tapi tidak relevan dalam
pecakapan (contoh, menyebutkan tanggal dan usia ketika membicarakan peristiwa
atau orang tertentu), berbicara berlebihan pada satu topik percakapan,
berpindah ke topik yang tidak semestinya, dan mengabaikan umpan pembicaraan
yang dikemukakan oleh lawan bicara (Taber-Flushbrg, 1999, 2001; Easles, 1993).
Cappas, Kehres, dan Sigman (1998) menemukan bahwa anak-anak dengan gangguan
autis menunjukkan kesulitan berkomunikasi dua arah karena tidak adanya daya
tanggap terhadap pertanyaan dan komentar. Anak-anak dengan gangguan autis juga
tidak banyak memberikan informasi spontan dibanding dengan anak-anak dengan
kelambatan perkembangan lain dalam hal kemampuan bahasa. Easles (1993)
berpendapat bahwa gangguan-gangguan fragmatis ini disebabkan oleh gangguan
dalam memahami niat atau maksud orang lain selama percakapan.
Kesulitan-kesulitan dengan aspek
fragmatik atau sosial dalam bahasa juga dijumpai diantara orang-orang dewasa
yang mengalami gangguan autis (Lord & Paul, 1997). Selain kerusakan
fragmatis, individu dengan gangguan autis biasanya mengalami kesulitan dalam
aspek-aspek semantik bahasa.
Anak autism dengan ganguan
komunikasi haruis dilakukan observasi dan penilaian secara menyeluruh
termasuk penilaian oral motor dan sistem motor bicara. Dr. Michael Crary
menganjurkan beberapa hal tentang observasi dan evaluasi termasuk :
·
FUNGSI MOTOR BUKAN BICARA :
Fungsi motor bukan bicara
meliputi posisi tubuh dan cara berjalan, koordinasi gerakan motorik kasar dan
halus, koordinasi gerakan mulut, posisi mulut, air liur menetes terus,
menelan, mengunyah, struktur mulut, simetris,
·
FUNGSI MOTOR
BICARA :
Kemampuan dan usaha dalam proses bicara seperti
deviasi dalam prosodi (kecepatan, volume, intonasi dll), kelancaran bicara,
hiper/hiponasaliti, diodochokinesis bicara (seperti pengulangan .
“puh-puh-puh”, “puh-tuh-kuh” ), kemauan dan usaha secara spontan.
·
KEMAMPUAN
ARTIKULASI DAN FONOLOGI:
Gangguan komunikasi pada anak penyandang autisme,
bisa dibedakan menjadi dua bagian: gangguan komunikasi verbal dan non verbal. Gangguan
komunikasi verbal dimana anak bisa bicara tapi bicara tidak digunakan untuk
komunikasi. Contohnya, membeo, ekolali, dan berbicara dalam situasi yang salah.
Sebaliknya, gangguan komunikasi non verbal nampak dari hal-hal sederhana
seperti kontak mata minimal, tidak memahami bahasa tubuh, sampai dengan
terlambat bicara atau sama sekali tidak bisa berbicara.
Dilihat dari
penyebabnya: gangguan komunikasi bisa disebabkan oleh gangguan pada masalah
memproduksi kata-kata karena motorik mulut, gangguan pada pendengaran sehingga
tidak bisa mendengar kata apalagi mengingat kata-kata dengan jelas, tidak
memahami arti kata-kata dan mengasosiasikan dengan situasi, dan lingkungan
tidak mendukung anak untuk termotivasi berbicara atau mengembangkan kemampuan
bicaranya.
Anak-anak
autis menguasai bahasa verbal melalui tahapan-tahapan perkembangan tata bahasa
yang sama dengan anak-anak pada umumnya meskipun agak lambat (Tager,
Flusbrg, 1999). Anak-anak dengan autisme cenderung mengandalkan pada
sintaksis dan bukan pada isi semantik dalam memahami bahasa (contoh, banyak
mengandalkan pada kata ketika menentukan makna suatu kalimat).
Hambatan-Hambatan Berkomunikasi pada
Anak Autis
Anak autis mengalami gangguan
perkembangan yang kompleks sehingga mereka juga disebut mengalami gangguan
pervasif. Peeters (2004:4) mengartikan pervasif yaitu menderita kerusakan jauh
di dalam meliputi keseluruhan dirinya. Istilah pervasif juga dilandasi oleh
gangguan perkembangan yang diperlihatkan oleh anak autis.
Gangguan-gangguan itu hampir
meliputi seluruh aspek kehidupannya, antara lain komunikasi, interaksi sosial,
gangguan dalam sensoris, pola bermain, perilaku khas, dan emosi (Riyanti,
2002:10, Peeters, 2004:5; Hidayat, 2006:2; Sunardi dan Sunaryo, 2006:193).
Gangguan-gangguan tersebut jelas akan mengahambat perkembangan anak autis.
Di bawah ini dijelaskan hambatan atau
gangguan-gangguan berkomunikasi yang sering diperlihatkan oleh anak autis,
diantaranya adalah:
§
Perkembangan
bahasa lambat atau sama sekali tidak ada.
§
Anak tampak
seperti tuli, sulit bicara, atau pernah bicara, tetapi kemudian sirna.
§
Kadang
kata-kata yang digunakan tidak sesuai artinya.
§
Mengoceh tanpa
arti berulang-ulang dengan bahasa yang tidak dapat dimengerti oleh orang lain.
§
Bicara tidak
dipakai untuk alat berkomunikasi
§
Senang meniru
atau membeo (echolalia)
§
Bila senang
meniru, dapat hapal betul kata-kata atau nyanyian tapi tidak mengerti artinya.
§
Sebagian dari
anak autis tidak bicara (non verbal) atau sedikit berbicara sampai usia dewasa.
§
Senang
menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang ia inginkan.
Peningkatan Keterampilan Komunikasi Bagi Anak Autis dengan
Media PECS
1. Pengertian PECS
PECS (Picture
Exchange Communication System) adalah suatu pendekatan untuk melatih
komunikasi dengan menggunakan simbol-simbol verbal (Bondy dan Frost, 1994:2). PECS
dirancang oleh Andrew Bondy dan Lori Frost pada tahun 1985 dan mulai
dipublikasikan pada tahun 1994 di Amerika Serikat. Awalnya PECS ini digunakan
untuk siswa-siswa pra sekolah yang mengalami autisme dan kelainan lainnya yang
berkaitan dengan gangguan komunikasi. Siswa yang menggunakan PECS ini adalah
mereka yang perkembangan bahasanya tidak menggembirakan dan mereka tidak
memiliki kemauan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dalam perkembangan
selanjutnya, penggunaan PECS telah meluas dapat digunakan untuk berbagai usia
dan lebih diperdalam lagi.
Dengan
menggunakan PECS bukan berarti menyerah bahwa anak tidak akan bicara, tetapi
dengan adanya bantuan gambar-gambar atau simbol-simbol maka pemahaman terhadap
bahasa yang disampaikan secara verbal dapat dipahami secara jelas. Memang, pada
tahap awalnya anak diperkenalkan dengan simbol-simbol non verbal. Namun pada
fase akhir dalam penggunaan PECS ini, anak dimotivasi untuk berbicara. Meskipun
PECS bukanlah program untuk mengajarkan anak autis cara berbicara, pada
akhirnya mendorong mereka untuk berbicara.
Ada
kekhawatiran orangtua terhadap anaknya yang menggunakan PECS ini. Mereka
khawatir anaknya tidak bisa bicara dan ketergantungan terhadap gambar. Untuk
itu Schwartz (1998) dalam www. autism.healingthresholds.com) melakukan
penelitian pada 18 orang anak-anak pra sekolah yang mengalami gangguan
berbahasa, beberapa diantara mereka didiagnosa sebagai anak autis. Mereka
mendapat penanganan dengan menggunakan PECS. Anak-anak tersebut menggunakan
PECS untuk berkomunikasi selama di sekolah, tidak hanya pada sesi latihan saja.
Ternyata setelah setahun, lebih dari setengahnya telah berhenti menggunakan
PECS dan mulai menggunakan kemampuan bicara alaminya.
Tidak ditemukan
adanya dampak negatif dari penggunaan PECS ini (Bondy, 2001). Ada pun
kekhawatiran akan adanya ketergantungan pada PECS dan keterampilan bicara anak
autis menjadi tidak berkembang, pandangan/kekhawatiran itu tidak didasari oleh
hasil penelitian. Kenyataanya banyak bukti bahwa anak-anak autis yang menggunakan
PECS perkembangan keterampilan bicaranya lebih cepat dibandingkan dengan yang
tidak menggunakan PECS (Bondy, 2001).
Penelitian
terakhir oleh Yoder dan Stone (2006) membandingkan antara anak-anak yang
menggunakan PECS dengan sistem yang lain. Hasilnya menunjukkan bahwa anak-anak
autis yang dilatih dengan menggunakan PECS lebih verbal dibandingkan dengan
yang lain. PECS ini akan lebih efektif mendorong anak autis untuk lebih verbal
jika dilatihkan pada anak berusia di bawah enam tahun.
Berdasarkan pengalaman
Wallin (2007:1) ada beberapa keunggulan yang dimiliki oleh PECS ini,
diantaranya:
§ Setiap
pertukaran menunjukkan tujuan yang jelas dan mudah dipahami. Pada saat tangan
anak menunjuk gambar atau kalimat, maka dapat dengan cepat dan mudah permintaan
atau pendapatnya itu dipahami. Melalui PECS, anak telah diberikan jalan yang
lancar dan mudah untuk menemukan kebutuhannya.
§ Sejak dari
awal, tujuan komunikasi ditentukan oleh anak. Anak-anak tidak diarahkan untuk
merespon kata-kata tertentu atau pengajaran yang ditentukan oleh orang dewasa,
akan tetapi anak-anak didorong untuk secara mandiri memperoleh “jembatan”
komunikasinya dan terjadi secara alamiah. Guru atau pembimbing mencari apa yang
anak inginkan untuk dijadikan penguatan dan jembatan komunikasi dengan anak.
§ Komunikasi
menjadi sesuatu penuh makna dan tinggi motivasi bagi anak autis.
§ Material
(bahan-bahan) yang digunakan cukup murah, mudah disiapkan, dan bisa dipakai
kapan saja dan dimana saja. Simbol PECS dapat dibuat dengan digambar sendiri
atau dengan foto.
§ PECS tidak
membatasi anak untuk berkomunikasi dengan siapapun. Setiap orang dapat dengan
mudah memahami simbol PECS sehingga anak autis dapat berkomunikasi dengan orang
lain tidak hanya dengan keluarganya sendiri.
Pembelajaran komunikasi
melalui PECS ini harus dimulai dari objek yang benar-benar anak inginkan. Oleh
karenanya menurut Bondy dan Frost (1994) dalam Gardner, et al. (1999:11) dalam
penerapan PECS ini perlu adanya penggunaan modifikasi perilaku. Melalui
modifikasi perilaku tersebut akan diketahui apa yang anak inginkan. Objek yang
diinginkan tersebut akan menjadi penguatan bagi anak untuk melakukan komunikasi
melalui pertukaran gambar.
2. Menyiapkan Material (Bahan-bahan) yang Digunakan
Material yang
digunakan dalam PECS cukup murah. Simbol atau gambar dapat diperoleh dengan
cara menggambar sendiri, dari majalah atau koran, foto, atau gambar dari
komputer (clip art atau dari internet). Bisa juga menggunakan material
resmi PECS yang diterbitkan oleh Pyramid Educational Consultants. Inc.
Gambar-gambar atau simbol itu dibentuk kartu kemudian dilaminating agar awet
dan di belakang gambar itu dipasang pengait (velcro) atau double tape
agar bisa dipasang atau digantung pada berbagai media. Untuk menyimpan kartu
gambar diperlukan file.
Dibawah ini
sebagian contoh gambar yang dapat di gunakan:
Sumber: www.widgit.com
Gambar-gambar
dan simbol dikelompokkan dan disusun dari yang paling mudah sampai yang paling
sulit. Gambar dan simbol dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa kategori,
misalnya:
1.
Orang dan jenis kelamin
2.
Profesi
3.
Kata benda, kata kerja, kata siifat, kata depan
4.
Binatang
5.
Bagian tubuh
6.
Pakaian dan perlengkapannya
7.
Jenis pekerjaan
8.
Rumah dan perlengkapannya
9.
Makanan
10. Perlengkapan
masak
11. Transportasi
12. Tempat-tempat
umum
13. Waktu
dan cuaca
Cara praktis meng"set up"
situasi untuk menciptakan "functional comunication" adalah sebagai
berikut:
1.
Cari tahu hal yang paling menyenangkan buat
anak, misalkan anak suka nonton film teletubis. Hal tersebut bisa digunakan
untuk dijadikan situmulus untuk mengajari anak "functional
comunication".
2.
Mengetahui kemampuan anak untuk berkomunikasi
samapi sejauh mana, dan kemudian ditetapkan "target" respon yang
diharapkan. Misalkan, kalau anak belum sama sekali berkomunikasi..maka target
perilaku komunikasi yang diharapkan adalah"menunjuk/komunikasi bahasa
tubuh" dulu. Bila anak sudah bisa berbicara...maka targetnya adalah
mengucapkan satu kata, dua kata, dan sebagainya.
3.
"set up" situation dimana anak harus
mengkomunikasikan apa yang dinginkan kepada orang lain. Misalkan, saat dia
ingin menonton "teletubies", kita letakan kaset telutubies
favoritenya di tempat yang anak tidak bisa menjangkaunya, kemudian minta dia
untuk menunjuk ketempat kaset diletakan, atau bilang"minta" kepada
kita bila dia ingin kaset tersebut, dan sebagainya, sesuai dengan target
perilaku komunikasi yang sudah ditetapkan pada point 2. Pada awalnya, kita
bantu dengan prompt verbal atau prompt model sehingga anak menerima
pembelajaran "functional komunikasi" ini dengan bersih. Anak menerima
pesan, bila dia ingin sst dia harus mengatakan keinginannya pada orang lain
dalam bentuk bahasa tubuh atau verbal, dan kedua menghindari anak
"tantrum" karena memang belum mengerti apa yang kita inginkan
darinya. (bantu anak pada awalnya, bila anak bisa mengikuti target perilaku
komunikasi yang kita mau--berikan apa yang diminta, kemudian puji anak sebagai
reward yang memotivasi ! anak untuk melakukan hal yang sama. Setelah itu,
dicoba satu kali lagi "trialnya" tanpa dibantu untuk memastikan apakah
anak mengerti pesan atau keinginan atau goal dari "trial" tersebut.
Bila anak bisa, berikan dia reward yang lebih besar lagi, seperti sorakan dan
sebagainya. Bila anak tidak bisa cukup bilang "coba lagi ya?!",
setelah itu bantu anak sekali lagi dan langsung lepaskan anak dari trial
tersebut, agar anak tidak "frustrasi". Trial tersebut bisa dicoba
pada kesempatan yang berbeda. Sebisa mungkin buat situasi menyenangkan bagi
anak..mengingat komunikasi adalah masalah yang sulit buat anak penyandang
autisme.
4.
Pastikan dalam setiap trial atau set up
situation yang diciptakan, anak bekerja dengan bersih, including eye contact,
bahasa tubuh yang dimaksud, artikulasi kata, dan sebagainya.
5.
Evaluasi kemampuan anak, kemudian kembangkan
"functional comunication" ini seterusnya. Misalkan, yang tadi hanya
menunjuk, selanjutnya harus mengatakan benda yang dimaksud, atau yang tadinya
satu kata, harus bisa dua kata "minta kaset"..dan sebagainya. Dengan
begitu anak akan tertantang terus untuk berkomunikasi.
6.
Yang terpenting adalah konsisten dalam
menjalankan. Dalam arti semua orang dalam keluarga harus memperlakukan hal yang
sama untuk anak, jadi anak mengerti itu adalah aturan main yang harus dia
lakukan bila menginginkan sesuatu.
Refferensi: